Senin, 22 Februari 2016

Dinding Pembatas

Kumulai pagi ini dengan bersyukur dan bangga karena masih diberikan kehidupan oleh-Nya. Kembali ku lihat seorang sosok kepala keluarga menyapaku dengan penuh kasih dan penuh semangat. Kemudian tugas untuk menjadi sukses telah datang menghampiri. Dan apa yang terjadi? Para kolega meninggalkanku di tempat yang terasa asing dan membuat tidak nyaman, sontak hati dan kepala ini terasa panas. Apa yang salah denganku? Apa mereka tidak berfikir bahwa yang mereka lakukan adalah suatu sikap yang bodoh? Datang tepat waktu sudah menjadi kewajiban, tapi mereka asyik dengan dunianya. Dunianya? Ya, karena para individu di sekitar membuat dinding pemabatas yang tak tampat dan tanpa sadar sudah membuat kesalahan besar. Disaat mereka bersenang-senang, disini ada beberapa yang dengan sabar menunggu. Lalu setelah keluar dari dunianya, mereka kembali menyapa dengan candaan bodoh yang seakan-akan meremehkan seseorang yang emreka anggap bukan dari bagiannya.

Jumat, 19 Februari 2016

Cemas

Pagi ini disambut oleh rintik hujan yang bergantian menyentuh permukaan bumi. Terlintas begitu saja bagaimana kabarmu? Bagaimana pagimu? Apakah disana terlintas juga pikiranmu tentangku? Hujan masih terus membasahi tiap-tiap makhluk dan benda yang mendiami bumi, entah mengapa matahari enggan untuk menampakkan keindahannya. Apakah ia malu? Apakah ia sudah bosan melihat manusia yang tidak menyapa nya? Layaknya perasaan ini yang masih ragu untuk mengutarakan rasa sayang ini. Setiap titik hujan membuatku bertanaya apakah kau baik-baik saja? Entah mengapa pertanyaan ini selalu menghantui. Aku bukan siapa-siapa, tapi apakah mungkin rasa cinta dan sayang yang membuat pertanyaan itu tak mau berlalu dari otak ini? Perasaan ini tak bisa dibohongi lagi. Ya, aku menaruh hati kepadamu, namun mulut ini belum bisa mengungkapkan rasa sayang yang besar kepadamu. Dan disini masih terus menunggu reaksi baikmu. Aku selalu melihatmu dari jauh dan merasa terpesona akan indah rambutnya dan sikapnya yang membuat bibir ini menampakkan senyum bahagia. Bagaikan sang bulan yang hanya berdiri melihat keindahan cahaya bintang. Sang bulan hanya bisa menghibur diri melihat sepasang individu yang saling menjalin cinta dibawah sinar dan lindungannya.

Kamis, 18 Februari 2016

Hanya Melihat dan Tersenyum

Beberapa hari berlalu dan sesaat merasakan suasana yang berbeda. Bingung awalnya namun mengerti akhirnya. Selalu mencoba bertanya dalam diri apa ada yang salah? Apa yang terjadi sampai dia menjauh begitu saja? Ya, hanya bisa melihat dan tersenyum. Melihatnya berjalan membuat suasana menjadi lebih terang walau berjalan menjauh. Harapan selalu terucap andai bisa berjalan bersama, saling memberi perhatian, dan tentu saja saling berbagi dalam kasih sayang. Tapi semua itu hanya harapan bodoh dari orang yang bodoh. Mana mungkin harapan itu terjadi jikalau mendekatinya pun tak berani. Mungkin hanya bisa mencintainya dalam hati dan berharap dia mengetahui dan mengerti. Orang bodoh yang berjuang untuk orang yang sempurna, Bagaikan cerita si buruk dan si Cantik. Dimana keberanian ini? Apa terlalu takut dengan resiko? Entah apa pertanyaannya tetapi satu jawaban, yaitu yakin dan percaya. Mungkin keyakinan itu mulai muncul dan harapan untuk mendapatkannya kembali besar. Tapi butuh perjuangan untuk itu. Dan untuk saat ini yang bisa dilakukan adalah melihat dan tersenyum.